Senin, 10 Desember 2007

AIR MATA

Oleh Pai
Alumni ESQ ANGKATAN PROFESIONAL V

Menangis memang terasa romantis. Tapi bagi seorang laki-laki, menangis bisa menerabas batas harga diri. Tak mudah air mata yang bening menetes dari kelopak. Memang, air mata tak bisa dipaksa. Disaat ia akan menetes, tak akan bisa dibendung. Bak air bah yang mengamuk menerjang bendungan.


Suasana itulah yang dirasakan ketika mata terpejam mendengar kisah seorang ayah harus menyembelih anak yang sangat dicintainya. Tiba-tiba terbayang sosok anaku yang mungil di seberang lautan sana. Teriris rasanya hati ini saat terlintas di benaku keceriaan, kelucuan dan keluguannya.

Saat itu pula, air mata tak bisa dibendung. Entah, air mata apa itu. Cinta, sedih atau perasaan bersalah karena tak bisa menyentuh kulitnya, membelai rambutnya dan menatap matanya.

Air mata dan tangis semakin menjadi-jadi saat mendengar sang ayah membawa anaknya kesebuah bukit untuk melaksanakan perintahNya. Si anak juga dengan perasaan cintanya memohon agar sang ayahnya tetap ikhlas menjalankan perintahNya. ‘’Tutup wajah ku dengan selembar kain. Agar, tak satu pun buliran air mata ayah menetes ketika parang tajam mulai mengoyak kulit leher ku.’’

Dada mulai terasa sesak. Kini tak hanya air mata. Tapi diikuti pula penyesalan yang sangat mendalam. Sebuah penyesalan mengapa cinta ini sejak dulu terbagi. Pantaskah mencintai selain Dia. Aku baru terhenyak, saat mendengar kembali cerita itu, bahwa prosesi di puncak gunung hanyalah sebuah kiasan betapa kita sudah menghianati cinta Zat Maha Pencinta.

Sesak di dada nyaris membuat nafas ini terhenti. Alangkah tubuh ini berlumuran dosa yang tak terasa dan terkira. Hanya gara-gara perasaan yang agung bernama cinta. Sekali lagi, aku akhirnya tersadar saat mendengar akhir dari sebuah kisah tadi. Betapa kini aku sadar, bahwa tidak ada yang lebih pantas dicintai dari pada cinta ku padaNya. Tak terkecuali cinta Ibrahim Alaissalam kepada anaknya Ismail Alaissalam . ***