Oleh ARY GINANJAR AGUSTIAN
AKHIR-AKHIR ini Indonesia dilanda berbagai musibah baik di darat, laut, maupun udara. Media massa dengan gencar memberitakan kecelakaan menimpa kereta api (KA), tenggelamnya kapal laut, dan kecelakaan pesawat udara.
Belum hilang ingatan kita akan bencana-bencana tersebut, wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi dan Tangerang tergenang banjir. Kehidupan masyarakat dan perekonomian menjadi lumpuh dibuatnya.
Kita semua prihatin dan tentu saja harus mengadakan introspeksi dan evaluasi di balik semua musibah tersebut. Pada Rakernas dan Temu Alumni ke-2 di Bukittingi, Sumatra Barat, belum lama ini, para alumni ESQ mengumpulkan dana sehingga mencapai Rp 65 juta untuk musibah di Sumatra Barat.
Terlepas dari semua itu, kita sepatutnya mengenang kembali makna hidup di dunia ini. Patut disyukuri bahwa hari ini kita masih dapat berjumpa. Sebuah perjumpaan di alam mimpi. Karena, jika kita renungi, sesungguhnya hidup ini adalah mimpi.
Kehidupan saat ini ibarat bayang-bayang, tidak nyata. Hidup ini bagaikan tidur tadi siang, dan ketika terbangun itulah akhirat. Semoga kita senantiasa sadar bahwa sesungguhnya kita dalam impian.
Saya katakan demikian, karena dunia ini adalah tempat kehidupan yang belum ada konsekuensinya secara sempurna. Jadi, apabila kita berbuat baik, kebaikan itu tidak sepenuhnya berbalik jadi kebaikan saat ini. Ketika kita berbuat kemuliaan, kemuliaan itu belum tentu muncul di hadapan kita saat ini.
Begitu pula ketika kita berbuat kejahatan, keburukan, atau kemalasan, dampaknya hanya sebagian yang ditunjukkan saat ini, dan ada yang tersembunyi di belakang.
Oleh karena itu, kita patut bersyukur jika ujian atau hukuman itu datang. Ujian bisa berupa sakit, kehilangan harta benda, atau musibah lainnya. Semua itu dasarnya merupakan keseimbangan yang harus kita terima sebagai akibat logis dari keseimbangan alam semesta.
Dalam hal ini, kita dapat melihat teladan Nabi Muhammad sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Menyadari usianya tak akan lama lagi, Nabi Muhammad bertanya, “Siapa yang dulu aku sakiti, maka berilah aku balasan seperti yang pernah aku lakukan.”
Hal ini menyiratkan bahwa Nabi lebih senang mendapatkan balasan di dunia daripada nanti di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak usah bersedih jika mendapat masalah, penderitaan, dan kekurangan. Itu semua adalah efek dari apa yang kita lakukan, sedangkan efek sisanya akan lunas di akhirat. Yang berbuat baik bunganya akan didapatkan di akhirat, di hari pembalasan.
Pikiran, kata, dan sikap akan berdampak pada alam. Dampak itu semuanya akan direspons oleh alam. Karena alam memiliki kesadarannya sendiri. Sesungguhnya alam itu adalah energi, yang dalam ilmu fisika disebut Fisika Quantum Vacuum.
Dari manakah semua itu? Siapakah yang menyeimbangkan? Dialah 99 energi, 99 kekuatan Kuantum Vacuum. Sesungguhnya, itu semua adalah energi Asmaul Husna. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, keburukan dibalas dengan keburukan, demi menjaga keseimbangan.
OIeh karena itu, selama kita masih hidup di dunia, berlomba-lombalah dalam menciptakan balasan atau konsekuensi, yaitu surga. Berlomba-lombalah untuk menciptakan semua kebaikan yang tidak dilihat oleh manusia ataupun yang terlihat pandangan orang lain.
Sadarlah, kita semua masih mimpi, karena kita semua masih berada dalam bayang-bayang. Kita berada di alam fana, bukan di alam sesungguhnya. Percayalah, suatu hari ketika masuk di alam pembalasan, kita akan mengatakan benar bahwa saya dulu di dunia hanyalah mimpi, dan sekarang adalah nyata.***
Sumber : Pikiran Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar